Ilustrasi, sumber foto: Istimewa


Detasemen Polisi Militer (Denpom) II / III Lampung menangkap anggota TNI yang menembak pengemudi online. Prajurit TNI yang ditangkap adalah Sersan G yang bertugas di Batalyon Infantri 143/Tri Wira Eka Jaya atau Yonif 143/TWEJ.


Komandan Korem 043 Garuda Hitam, Brigjen TNI Toto J, mengaku Sersan G merupakan personel TNI aktif yang bertugas di tempatnya.


"Saya atas nama Komandan Korem 043 Garuda Hitam beserta jajaran mewakili TNI Angkatan Darat menyampaikan penyesalan sedalam-dalamnya atas insiden kemarin. Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Insiden ini sama sekali tidak kami kehendaki," kata Toto, seperti dikutip kantor berita ANTARA, Selasa (23/3/2021).


Korban pengemudi online ini bernama Kurnalis Asmarantaka (51) warga Desa Langkapura, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, Lampung. Ia ditembak oleh Sersan G saat mengantarnya dari depan kantor BPJS Kesehatan, Rajabasa, Bandar Lampung pada Sabtu, 20 Maret 2021 sekitar pukul 06.00 WIB.


Bagaimana kronologi penembakan Sersan G terhadap Kurnalis? Apa komentar Lembaga Swadaya Masyarakat, Imparsial, terkait berulangnya kekerasan aparat TNI terhadap warga sipil?


Sersan G menembak korban karena salah paham


Toto kemudian menjelaskan kronologis penembakan yang dilakukan Sersan G kepada Kurnalis pada Sabtu pekan lalu. Menurut Toto, kejadian maut itu dipicu oleh kesalahpahaman belaka.


Sersan G, kata Toto, sedang bertugas dan meninggalkan senjatanya di dalam mobil korban. Saat itu korban menjemput Sersan G dengan Toyota Agya hitam. Karena itu, Sersan G berusaha menghentikan mobil korban untuk mengambil senjatanya.


Korban, kata dia, mengira Sersan G akan melakukan tindakan kekerasan. Jadi, dia mencoba melarikan diri. 


“Akhirnya terjadi kepanikan, karena yang bersangkutan sedang berdinas lalu senjatanya tertinggal di mobil korban,” kata Toto.


“Intinya gini, (Sersan G bertanya) mana senjataku. Karena sejatinya senjata bagi kami itu bak istri pertama. Ibaratnya kita kehilangan istri bagaimana, pasti kan stres. Dikiranya korban itu tindak kekerasan dan berusaha untuk melarikan diri, dari sana terjadi mis komunikasi," ujarnya lagi.


Saat ini korban sudah mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Natar Medika (RSNM) Lampung Selatan. Dia menderita luka di leher.


Imparsial mendorong anggota TNI yang melanggar hukum untuk diadili di pengadilan umum


Sementara itu, Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menyayangkan kekerasan yang dilakukan aparat TNI terhadap warga sipil kembali terjadi. Dalam catatannya, ini bukan kali pertama warga sipil menjadi korban kekerasan anggota TNI. Secara institusi, TNI menyebutnya dilakukan oleh oknum-oknum.


“Jadi, seolah-olah kesalahan ditimpakan hanya kepada individu itu saja. Padahal, pembenahan seharusnya dilakukan secara menyeluruh di tubuh institusi TNI. Terutama soal kepemilikan senjata,” kata Gufron saat dihubungi melalui telepon hari ini.


Keadaan tersebut seakan diperparah dengan proses peradilan yang dialami anggota TNI, bukan peradilan umum seperti warga sipil lainnya. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa pengadilan di lingkungan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang pada saat melakukan tindak pidana itu adalah satu, prajurit, dua, berdasarkan UU bersama prajurit, ketiga, anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan UU.


Menurut Gufron, sistem peradilan militer harus direformasi karena merupakan salah satu cita-cita tahun 1998. Namun hingga saat ini belum terwujud.


“Kita ini kan negara hukum, di mana prinsipnya yaitu semua warga negara sama atau setara di hadapan hukum. Jadi, siapapun termasuk anggota TNI bila mereka melakukan tindak pidana, maka harus diadili di peradilan umum. Tapi, UU Peradilan Militer tidak mengamanatkan demikian,” ujarnya lagi.


Proses peradilan militer dianggap tidak transparan


Gufron juga mengakui, proses peradilan militer seringkali sulit diawasi publik. Berbeda dengan pengadilan umum, masyarakat bisa menyaksikannya secara langsung.


“Bila tidak ada transparansi maka berbagai kemungkinan (termasuk vonis lebih ringan) bisa saja terjadi. Dalam beberapa kasus memang terbukti demikian, karena ada problem soal transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.


Menurutnya, belum ada reformasi UU Peradilan Militer karena tidak ada kemauan politik dari pemerintah dan parlemen. Beban itu, tidak ada di TNI.


“TNI itu kan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan. Jadi, kalau berbicara kebijakan, maka itu ranah DPR dan pemerintah yang harus mendorong kedua pihak tadi itu,” ujarnya lagi.


 Situs Bolatangkas Online | Agen Bolatangkas Online | Judi Bolatangkas Terpercaya